RiauCitizen.com, Nasional - Sidang lanjutan pengujian UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) - Perkara No. 5/PUU-XIII/2015 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/3) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Saksi Pemohon. Seperti diketahui, Pemohon menggugat Pasal 5 UU Yayasan karena merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya.
Hadir dalam persidangan, Ahli Pemohon yaitu Safri Nurmantu sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Safri mengatakan, Pasal 5 UU Yayasan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Karena pasal dalam UU Yayasan tersebut melarang saya untuk menerima langsung atau tidak langsung imbalan berupa gaji, upah atau honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang dari Yayasan, dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara dan pidana,” jelas Safri yang kini menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI) Jakarta.
Safri melanjutkan, sejarah pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari eksistensi yayasan sejak zaman pra kemerdekaan. Tidak sedikit putra-putra pahlawan bangsa adalah alumni sekolah yang diasuh oleh yayasan. Bahkan sampai saat ini pendidikan di Indonesia sebagian terbesar diasuh oleh yayasan, selain sekolah dan perguruan tinggi negeri.
“Jumlah yayasan di seluruh Indonesia yang mengasuh masalah sosial seperti pendidikan diperkirakan lebih dari 7000 yayasan. Jika setiap yayasan mempunyai masing-masing paling sedikit lima orang untuk pembina, pengurus dan pengawas, maka akan terdapat 35.000 orang pembina, pengurus dan pengawas yang akan berhadapan dengan ketentuan Pasal 5 UU Yayasan,” papar Safri.
Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan, ”Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.”
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) UU Yayasan menyebutkan, “ Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan: a. bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan b. melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.”
Sementara itu, Saksi Pemohon Amrullah yang menjadi Pembina dan Sekretaris Yayasan Toyib Salmah Habibie mengatakan bahwa ia merasa risau dengan adanya Pasal 5 UU Yayasan. Semula ia bisa membawa uang ke rumah dari hasil jerih payahnya. Namun dengan adanya pasal tersebut, ia tidak dibenarkan, dilarang menerima imbalan berupa gaji, honor atau bentuk lain karena saya menjadi pembina dan sekretaris.
“Ini berarti, tadinya yang halal tapi sekarang menjadi haram buat saya bila menerima imbalan,” ucap Amrullah. “Kalau demikian halnya, apa yang dapat saya berikan kepada keluarga saya?” tambah Amrullah.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon, Dahlan Pido selaku Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie menilai Pasal 5 UU Yayasan menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan gaji, upah atau honorarium seperti halnya pengurus yayasan lainnya.
Pemohon mendalilkan bahwa terdapat banyak kegiatan yayasan di Indonesia yang kegiatannya dilakukan bersama-sama dengan organ yayasan selain pengurus, yaitu pembina dan pengawas.
Editor MP
Sumber : MKRI
0 Komentar untuk "Ahli: Pendidikan di Indonesia Tidak Terlepas dari Eksistensi Yayasan"